Kebakaran Hutan di Indonesia kembali Menyala, Mengancam Kawasan yang Dilindungi dan Lahan Gambut

Oleh Lisa Johnston, Tjokorda Nirarta “Koni” Samadhi, Susan Minnemeyer dan Nigel Sizer
Kabut asap ekstrem yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan semak di Sumatera and Kalimantan, Indonesia merupakan masalah tidak berkesudahan yang memengaruhi kualitas hidup and ekonomi masyarakat lokal maupun negara tetangga. Seiringan dengan mendekatnya musim kering, angkat titik api mulai meningkat, terutama di provinsi Riau, Sumatera yang rawan terbakar. Kebakaran tersebut sudah mulai mengancam beberapa ekosistem yang kaya akan keanekaragaman hayati serta tinggi karbon di negara ini—hutan lindung dan lahan gambut. Menurut data Titik Api Aktif NASA pada platform Global Forest Watch Fires, setengah dari peringatan titik api di provinsi Riau terjadi di kawasan-kawasan yang dilindungi atau wilayah moratorium hutan di mana perkembangan baru dilarang menurut kebijakan nasional. Sekitar 38 persen dari peringatan titik api Riau terdapat pada lokasi lahan gambut yang kaya akan stok karbon dan dapat melepaskan gas rumah kaca ke dalam atmosfer yang semakin memicu perubahan iklim global.



Bukan informasi ini saja yang dapat ditampilkan pada platform Global Forest Watch Fires. Berikut adalah ringkasan terkait apa yang kami ketahui mengenai awal musim kebakaran tahun ini.
Pertanda Dimulainya Musim Kebakaran
Pada tahun 2013-2014, kebakaran di Indonesia yang berujung pada krisis kabut asap di Sumatera, Malaysia dan Singapura, menyulut panggilan untuk akuntabilitas yang lebih besar dari pihak perusahaan maupun pemerintah Indonesia, sehingga berakibat pada penandatanganan nota kesepahaman ASEAN Trans-boundary Haze Pollution. Dengan dimulainya musim kering di Sumatera, kami mulai melihat adanya kenaikan angka peringatan titik api. WRI akan memantau situasi ini dengan seksama untuk beberapa bulan kedepan guna melihat komitmen Indonesia dalam penanggulangan kebakaran dan polusi kabut asap.

Kebakaran Masih Terkonsentrasi di Provinsi Riau, Sumatera
Seperti halnya kasus tahun lalu, konsentrasi peringatan titik api terbesar terdapat di Provinsi Riau, Sumatera. Provinsi Riau juga memiliki konsentrasi kebun kelapa sawit tertinggi di Indonesia, antara lain 25 persen dari total produksi nasional.

Di Riau, api telah lama digunakan sebagai alat yang murah dan cepat untuk membuka lahan sebagai persiapan proses penanaman. Riset dari CIFOR mengindikasikan bahwa untuk mengetahui penyebab utama kebakaran adalah isu yang komplex, karena kebakaran pada umumnya terjadi di luar batas konsesi atau di dalam konsesi yang dikelola oleh petani.
Konsentrasi Titik Api Tinggi di Taman Nasional Tesso Nilo
Terdapat banyak peringatan titik api terkonsentrasi di Taman Nasional Tesso Nilo yang telah rusak secara signifikan oleh pembalakkan ilegal selama beberapa tahun terakhir. Taman Nasional Tesso Nilo yang memiliki luas sekitar 83,000 hektar telah kehilangan lebih dari setengah tutupan pohonnya selama tahun 2001-2013, menurut data GFW. Taman nasional ini merupakan habitat bagi gajah dan harimau sumatera yang sudah diambang kepunahan. Selama seminggu terakhir, 69 peringatan titik api terdeteksi di Tesso Nilo, dan tujuh di antaranya memiliki tingkat keyakinan tinggi yang dapat dihubungkan dengan aktivitas pembukaan lahan. Peringatan titik api lain yang tidak memiliki tingkat keyakinan tinggi juga memiliki kemungkinan besar merupakan kebakaran yang dapat berkaitan dengan terbakarnya ladang/padang rumput maupun kondisi lainnya yang mengakibatkan kebakaran dengan temperatur yang lebih rendah.

Implikasinya
Walaupun kita belum melihat adanya lonjakan angka peringatan titik api di Riau, sejauh ini lokasi terdeteksinya peringatan titik api menunjukkan adanya kelemahan pada peraturan dan penegakkan hukum. Sebagai bagian dari kebijakan moratorium hutan nasional, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melarang pemberian izin baru pada lokasi-lokasi hutan kunci, suatu komitmen yang diperpanjang oleh Presiden saat ini Joko Widodo. Cukup jelas bahwa regulasi ini belum secara serius diberlakukan. Secara bersamaan, masih terdapat banyak celah dalam moratorium seperti memperbolehkan pembukaan lahan di lokasi moratorium apabila digunakan untuk pangan dan energi, yang seringkali mendapat kritik. Pengawasan yang lemah pada kawasan yang dilindungi juga merupakan masalah yang berakar di Indonesia dan memiliki pengaruh sangat buruk pada Tesso Nilo. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di bawah Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada umumnya tidak memiliki kapasitas atau sumber daya yang mencukupi untuk mencegah pembalakkan terhadap penggunaan agrikultur dan hutan lainnya. Gerak cepat dari Presiden dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dapat menciptakan perbedaan yang signifikan dalam musim kebakaran di Riau tahun ini. Keduanya perlu memperkuat perlindungan pada wilayah-wilayah moratorium. Saat ini juga merupakan saat yang tepat untuk Presiden Jokowi mengunjungi kembali janjinya pada November 2014 untuk meninjau ulang semua izin yang telah dikeluarkan pada lahan gambut di Riau serta mencabut izin yang diketahui merusak ekosistem. Anda juga dapat membantu memonitor hutan di Riau maupun tempat lainnya di Indonesia tahun ini. Kunjungi GFW Fires, temukan peringatan titik api di Riau dan tweet hasilnya menggunakan #EyesOnRiau. Click pada tanda “Sign up for alerts” di peta sebelah kanan atas untuk mendapatkan email dan sms peringatan titik api di lokasi tertentu. Pelajari lebih lanjut: untuk analisis WRI lebih jauh mengenai kebakaran di Indonesia, periksalah seri blog kami.